![]() |
Source foto : Malang Voice |
Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang merupakan perpaduan antara seni dan teknologi. Batik memiliki makna dan filosofi yang terkandung dalam corak dan ragamnya.
Memakai batik adalah simbol persatuan yang melampaui perbedaan sosial, baik kaya maupun miskin. Setiap tahun Indonesia merayakan hari Batik Nasional setiap tanggal 2 Oktober sebagus bentuk penghargaan dan kebanggaan terhadap warisan budaya ini
Warisan budaya batik semakin diakui secara global, dan masyarakat Indonesia diharapkan untuk lebih percaya diri dalam memakai batik sebagai bagian dari upaya melestarikan warisan budaya Indonesia.
Seperti yang dilakukan oleh Anjani Sekar Arum dari Batu, Malang, Jawa Timur.
Usaha Anjani melestarikan budaya sembari di saat yang bersamaan mengangkat derajat ekonomi para pembatik muda yang membuatnya menjadi Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards di kategori Kewirausahaan pada tahun 2017.
![]() |
Source foto : Kompasiana.com |
Masyarakat lereng pegunungan Jawa Timur (Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi, dan Raung-Argopuro) sejak masa Kerajaan Singasari memiliki seni budaya yang erat kaitannya dengan Pencak Silat. Namanya Bantengan. Di Batu, Bantengan berkembang di wilayah yang sekarang menjadi Desa Bumiaji. Hingga saat ini Bantengan terus hidup di Batu. Budaya ini terjaga dengan baik.
Batik Bantengan adalah hasil gabungan
dari bakat, keahlian, ketekunan, dan cinta. Anjani Sekar Arum memulainya pada Agustus 2014 dengan mendirikan sanggar dan galeri batik Andaka di Kota Batu, Malang. Ia mendesain sendiri motif kain batik Bantengan. Anjani Sekar Arum tumbuh di keluarga seniman. Selain pegiat seni budaya Bantengan, ayahnya seorang pelukis. Pun begitu dengan pamannya. Nenek Anjani seorang penari. Canggah-nya (orang tua dari buyut) seorang pembatik namun keahlian tersebut tidak diturunkan. Namun pemikirannya sudah bulat: Bantengan harus menjadi motif batik. Anjani mengasah keahliannya di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.dan mulai membatik pada 2010.
Kerja kerasnya belajar membatik tidak sia-sia. Skripsinya yang membahas batik dan batik-batik yang dia buat semasa kuliah dinilai tinggi oleh almamaternya
Seniman Gerakan Sosial
![]() |
Source foto : Kumparan |
Pada tahun 2014 ia bisa berpameran. Hal ini tentunya serta merta mengangkat derajat Batik Bantengan. Dari 54 kain, ia menyisakan satu lembar.
Alih-alih glamor, perjuangan Batik Bantengan Anjani Sekar Arum berjalan di tingkat akar rumput. Ketika Istri Walikota Batu, Dewanti Rumpoko, mengajaknya pameran di Praha, Republik Ceko. Dua pekan menuju hari H, Anjani cuma sanggup membuat 10 lembar kain. Ternyata tidak mudah mencari pembatik yang tekun dan bagus.
Pada 2015, ia bertemu dengan Aliya, gadis berusia 9 tahun yang tertarik mempelajari cara membatik. Sejak itu, Anjani memilih melatih anak-anak menjadi pembatik di sanggarnya. Sampai kini, sudah 58 anak yang belajar di sanggarnya, 28 di antaranya menjadi pembatik aktif.
Setiap bulan, Sanggar Andana rata-rata menghasilkan 45 lembar kain batik. Setiap lembar dijual Rp 300 ribu-750 ribu. Dari setiap batik yang terjual, hanya 10 persen yang masuk ke sanggar. Sisanya menjadi milik para pembatik muda, dan jumlahnya tidak sedikit karena batik Bantengan yang dihasilkan para pembatik muda di Sanggar Batik Tulis Andhaka berharga jutaan. Harga batik yang dihasilkan anak-anak asuh Anjani lebih tinggi daripada harga normal batik.
Memasyarakatkan motif baru tidak sesederhana menggelar pameran di dalam dan luar negeri selain di ajang pameran besar dalam negeri, Batik Bantengan sudah dipamerkan di Ceko, Taiwan, Malaysia, Singapura, dan Australia,
.
Sejak 2017 Anjani bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Batu untuk memasyarakatkan Batik Bantengan. Dinas Pendidikan membagikan secara cuma-cuma peralatan membatik yang harganya tidak murah kepada sekolah-sekolah berakreditasi A di Kota Batu, sementara Anjani menyediakan para pembatik muda di sanggarnya untuk menjadi pengajar ekstrakurikuler membatik di sekolah-sekolah terpilih.
Anjani mengatakan bahwa Bantengan itu asalnya dari leluhur, harus dilestarikan. Jangan sampai diambil alih. Apalagi ia sebagai pelestari budaya. Akhirnya melihat keunikan kesenian tersebut, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Bukan dalam hal komersil, tapi dijadikan ciri khas daerah.
Desa Bumiaji, sebagai desa wisata, memiliki semua hal yang dibutuhkan oleh seniman batik seperti Anjani. Karenanya, kehadiran Anjani melengkapi yang membuat Bumiaji menawarkanwisata baru, yaitu Anjani dengan sanggar dan galerinya.
“Mempertahankan motif ini, menguatkan motif ini menjadi motif khas Batu, memang susah,” ujar Anjani. “Bertentangan dengan politik, dengan banyak hal. Mau tidak mau kita harus ‘perang’ dengan itu.”
Menurutnya, menurunkan keahlian membatik kepada generasi muda adalah cara melestarikan budaya.
Batik cap Banteng khas Kota Batu selayaknya patut dibanggakan. Karena motif batik yang dicetuskan warga Desa Bumiaji, Kota Batu ini dikenal hingga internasional.
Pantaslah kalau usaha Anjani melestarikan budaya sembari di saat yang bersamaan mengangkat derajat ekonomi para pembatik mudanya ini membuatnya menjadi Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards di kategori Kewirausahaan pada tahun 2017.
Program yang diinisiasi Astra untuk menjaring anak-anak muda Indonesia yang memiliki kegiatan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya di seluruh Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar